Kerangka Kerja Keuangan Berbasis Jual Beli
A. Kerangka Kerja
Keuangan berbasis Jual Beli
Kerangka kerja (bahasa
Inggris: framework) adalah suatu struktur
konseptual dasar yang digunakan untuk memecahkan atau menangani suatu masalah kompleks. Istilah ini sering digunakan
antara lain dalam bidang perangkat
lunak untuk
menggambarkan suatu desain sistem perangkat lunak yang dapat digunakan kembali,
serta dalam bidang manajemen untuk menggambarkan suatu konsep yang memungkinkan penanganan berbagai jenis
atau entitas bisnis secara homogen.
Jadi dari sedikit pengertian diatas dapat
disimpulkan bahwa kerangka kerja keuangan berbasis jual beli adalah suatu
konsep yang digunakan dalam sebuah lembaga keuangan untuk menggambarkan standar
operasional dan produk pembiayaan dalam sebuah lembaga yang berbasis jual beli
seperti bank atau bmt. Sehingga
standar operasional prosedur dalam bank atau bmt sangat diperlukan guna
menunjang ke efektifitasan nya dalam peran nya di lembaga keuangan di
indonesia. Standar operasional prosedur yang baik maka akan mendukung kinerja
bank atau bmt dalam menjalankan tugasnya.
B. Unsur Unsur dalam Jual Beli
1.
Pengertian
Jual Beli
Jual beli menurut
bahasa artinya pertukaran atau saling menukar. Sedangkan menurut pengertian
fikih, jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang yang lain
dengan rukun dan syarat tertentu. Jual beli juga dapat diartikan menukar
uang dengan barang yang diinginkan sesuai dengan rukun dan syarat tertentu.
Setelah jual beli dilakukan secara sah, barang yang dijual menjadi milik
pembeli sedangkan uang yang dibayarkan pembeli sebagai pengganti harga barang,
menjadi milik penjual.
Pada masa sekarang,
cara melakukan jual beli mengalami perkembangan. Di pasar swalayan ataupun
mall, para pembeli dapat memilih dan mengambil barang yang dibutuhkan tanpa
berhadapan dengan penjual. Pernyataan penjual (ijab) diwujudkan dalam daftar
harga barang atau label harga pada barang yang dijual sedangkan pernyataan
pembeli (kabul) berupa tindakan pembeli membayar barang-barang yang diambilnya.
2. Hukum
Jual Beli
Berbagai macam bentuk jual beli
tersebut harus dilakukan sesuai hukum jual beli dalam agama Islam. Hukum asal
jual beli adalah mubah (boleh). Allah SWT telah menghalalkan praktik jual beli
sesuai ketentuan dan syari’at-Nya. Dalam Surah al-Baqarah ayat 275 Allah SWT
berfirman:
Artinya :
“Dan Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba” (Q.S. al-Baqarah: 275)
Jual beli yang dilakukan tidak boleh
bertentangan dengan syariat agama Islam. Prinsip jual beli dalam Islam, tidak
boleh merugikan salah satu pihak, baik penjual ataupun pembeli. Jual beli harus
dilakukan atas dasar suka sama suka, bukan karena paksaan. Hal ini dijelaskan
oleh Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 29.
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan batil melainkan dengan jalan
jual beli suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa : 29)
Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW
bersabda:
Artinya :
“Dari Abi Sa’id al-Khudri berkata,
Rasulullah SAW bersabda: sesungguhnya jual beli itu didasarkan atas
saling meridai” .(H.R. Ibnu Maajah).
Hukum jual beli ada 4 macam, yaitu:
a.
Mubah (boleh), merupakan hukum asal jual beli;
b. Wajib,
apabila menjual merupakan keharusan, misalnya menjual barang untuk membayar hutang;
c. Sunah,
misalnya menjual barang kepada sahabat atau orang yang sangat memerlukan
barang yang dijual;
d. Haram,
misalnya menjual barang yang dilarang untuk diperjualbelikan. Menjual barang
untuk maksiat, jual beli untuk menyakiti seseorang, jual beli untuk merusak
harga pasar, dan jual beli dengan tujuan merusak ketentraman masyarakat.
3. Rukun
dan Syarat Jual Beli
Rukun dan syarat jual beli adalah
ketentuan ketentuan dalam jual beli yang harus di penuhi agar jual belinya sah
menurut syara’ ( hukum islam).
a. Orang yang
melakukan jual beli
Syarat – syarat yang harus dimiliki
oleh penjual dan pembeli adalah:
1.
Berakal
2. Baligh
3. Berhak
menggunakan hartanya. Orang yang tidak berhat menggunakan (membelanjakan)
hartanya karena sangat bodoh tidak sah jual belinya.
b. Sigat atau
ucapan ijab kabul.
Ulama fiqih sepakat bahwa unsur
utama dalam jual beli adalah kerelaan antara penjual dan pembeli. Karena
kerelaan itu berada dalam hati, maka harus diwujudkann melalui ucapan ijab
(dari pihak penjual) dan kabul (dari pihak pembeli)
c.
Barang yang di perjual belikan.
Barang yang di perjual belikan harus
memenuhi syarat – syarat yang diharuskan, antara lain:
1.
Barang yang diperjual belikan harus halal.
2.
Barang itu ada manfaatnya.
3.
Barang itu ada di tempat, atau tidak ada tetapi sudah
tersedia di tempat lain, misal di gudang.
4.
Barang itu milik penjual atau berada dibawah
kekuasaannya.
5.
Barang itu hendaklah diketahui oleh penjual dan
pembeli dengan jelas, baik zatnya, bentuknya dan kadarnya maupun sifat –
sifatnya.
d.
Nilai tukar barang yang di jual
Syarat – syarat nilai tukar barang yang di jual adalah
:
1.
Harga jual yang disepakati penjual dan pembeli harus
jelas jumlahnya.
2.
Nilai tukar barang itu dapat diserahkan pada waktu
transaksi jual beli, walaupun secara hukum, misalnya pembayaran menggunakan cek
atau kartu kredit.
3.
Apabila jual beli dilakukan secara barter, maka nilai
tukarnya tidak boleh dengan barang yang haram.
4.
Membedakan jual beli yang
diperbolehkan dan jual beli yang dilarang
Jual beli yang diperbolehkan dalam Islam adalah :
a.
telah memenuhi rukun dan syarat dalam jual beli
b.
jenis barang yang dijual halal
c.
jenis barangnya suci
d.
barang yang dijual memiliki manfaat
e.
atas dasar suka sama suka bukan karena paksaan
f.
saling menguntungkan
Adapun
bentuk-bentuk jual beli yang terlarang dalam agama Islam karena merugikan
masyarakat di antaranya sebagai berikut:
a.
memperjual belikan barang-barang yang haram
b.
jual beli barang untuk mengacaukan pasar
c.
jual beli barang curian
d.
jual beli dengan syarat tertentu
e.
jual beli yang mengandung unsur tipuan
f.
jual beli barang yang belum jelas misalnya menjual
ikan dalam kolam
g.
jual beli barang untuk ditimbun
5.
Khiyar
Dalam jual beli sering terjadi penyesalan di antara
penjual dan pembeli. Penyesalan ini terjadi karena kurang hati-hati,
tergesa-gesa atau sebab lainnya. Untuk menghindari penyesalan dalam jual beli,
maka Islam memberikan jalan dengan khiyar. Khiyar adalah hak untuk meneruskan jual
beli atau membatalkannya. Maksudnya, baik penjual atau pembeli mempunyai
kesempatan untuk mengambil keputusan apakah meneruskan jual beli atau
membatalkannya dalam waktu tertentu atau karena sebab tertentu. Khiyar dalam
jual beli ada tiga macam yaitu:
a.
Khiyar majlis
Khiyar majlis adalah hak bagi penjual dan pembeli yang
melakukan akad jual beli untuk membatalkan atau meneruskan akad jual beli
selama mereka masih belum berpisah dari tempat akad. Apabila keduanya telah
berpisah dari satu majlis, maka hilanglah hak khiyar majlis ini.
b.
Khiyar syarat
Khiyar syarat adalah suatu keadaan yang membolehkan
salah seorang atau masing-masing orang yang melakukan akad untuk membatalkan
atau menetapkan jual belinya setelah mempertimbangkan dalam 1, 2, atau 3 hari.
Setelah waktu yang ditentukan tiba, maka jual beli harus segera
ditegaskan untuk dilanjutkan atau dibatalkan. Waktu khiyar syarat selama 3 hari
3 malam terhitung waktu akad.
c.
Khiyar ‘aibi
Khiyar ‘aibi adalah hak untuk memilih meneruskan atau
membatalkan jual beli karena ada cacat atau kerusakan pada barang yang tidak
kelihatan pada saat ijab kabul. Pada masa sekarang, untuk memberikan pelayanan
yang memuaskan kepada pembeli, para produsen dan penjual barang biasanya
memberikan jaminan produk atau garansi. Pemberian garansi juga dimaksudkan
untuk menghindari adanya kekecewaan pembeli terhadap barang yang dibelinya.
Khiyar diperbolehkan oleh
Rasulullah Muhammad SAW karena memiliki manfaat. Di antara manfaat khiyar
adalah untuk menghindari adanya rasa tidak puas terhadap barang yang dibeli,
menghindari penipuan, dan untuk membina ukhuwah antara penjual dan pembeli.
Dengan adanya khiyar, penjual dan pembeli merasa puas.
C. Standar
Operasional Prosedur (SOP)
Standar
Operasional Prosedur merupakan pedoman penting tingkat dua pada struktur organisasi sistem setelah
pedoman sistem mutu. Suatu prosedur secara umum dapat didefinisikan sebagai
cara yang ditentukan secara spesifik untuk melaksanakan aktifitas. Pada pelaksanaannya,
suatu prosedur berfungsi sebagai pedoman yang menyatakan aliran kegiatan dan
menetapkan tanggung jawab,wewenang yang berhubungan dengan kegiatan tertentu
(Rachman, 2005: 79). Prosedur-prosedur mutu merupakan dokumentasi dasar dari
manual mutu. Prosedur dan instruksi kerja merupakan panduan untuk keperluan
intern lembaga atau perusahaan. Dokumen-dokumen ini berisi tentang prosedur
operasional untuk aktifitas organisasi sehari-hari (Rachman, 2005: 80). Menurut
Priyadi (1996: 67)prosedur adalah cara tertulis yang ditentukan untuk
melaksanakan suatu kegiatan oleh bagian atau personil, sedangkan instruksi
adalah cara kerja secara tertulis yang ditujukan kepada bagian atau personil
untuk melakukan suatu kegiatan tertentu yang dapat disertai dengan gambar
proses, peta alur kegiatan, cara memproses, dan sebagainya. Secara umum, SOP
merupakan gambaran langkah-langkah kerja (sistem, mekanisme dan tata kerja
internal) yang diperlukan dalam pelaksanaan suatu tugas untuk mencapai tujuan
instansi pemerintah. SOP sebagai suatu dokumen atau instrumen memuat tentang
proses dan prosedur suatu kegiatan yang bersifatefektif dan efisisen
berdasarkan suatu standar yang sudah baku. Pengembangan instrumen manajemen
tersebut dimaksudkan untuk memastikan bahwa proses pelayanan di seluruh unit
kerja pemerintahan dapat terkendali dan dapat berjalan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku (Priyadi, 1996: 68).
1. Pengertian
SOP
a. Suatu
standar atau pedoman tertulis yang dipergunakan untuk mendorong dan
menggerakkan suatu kelompok untuk mencapai tujuan organisasi.
b. SOP
merupakan tata cara atau tahapan yang dibakukan dan yang harus dilalui untuk
menyelesaikan suatu proses kerja tertentu.
2. Tujuan
SOP
a. Agar
petugas/pegawai menjaga konsistensi dan tingkat kinerja petugas/pegawai atau
tim dalam organisasi atau unit kerja.
b. Agar
mengetahui dengan jelas peran dan fungsi tiap-tiap posisi dalam organisasi.
c. Memperjelas
alur tugas, wewenang dan tanggung jawab dari petugas/pegawai terkait.
d. Melindungi
organisasi atau unit kerja dan petugas/pegawai dari malpraktek atau kesalahan
administrasi lainnya.
e. Untuk
menghindari kegagalan atau kesalahan, keraguan, duplikasi dan inefisiensi.
3. Fungsi
SOP
a. Memperlancar
tugas petugas/pegawai atau tim/unit kerja.
b. Sebagai
dasar hukum bila terjadi penyimpangan.
c. Mengetahui
dengan jelas hambatan-hambatannya dan mudah dilacak.
d. Mengarahkan
petugas/pegawai untuk sama-sama disiplin dalam bekerja.
e. Sebagai
pedoman dalam melaksanakan pekerjaan rutin.
4. Kapan
SOP Diperlukan
a. SOP
harus sudah ada sebelum suatu pekerjaan dilakukan.
b. SOP
digunakan untuk menilai apakah pekerjaan tersebut sudah dilakukan dengan baik
atau tidak.
c. Uji
SOP sebelum dijalankan, dilakukan revisi jika ada perubahan langkah kerja yang
dapat mempengaruhi lingkungan kerja.
5. Keuntungan
Adanya SOP
a. SOP
yang baik akan menjadi pedoman bagi pelaksana, menjadi alat komunikasi dan
pengawasan dan menjadikan pekerjaan diselesaikan secara konsisten.
b. Para
pegawai akan lebih memiliki percaya diri dalam bekerja dan tahu apa yang harus
dicapai dalam setiap pekerjaan.
c. SOP
juga bisa dipergunakan sebagai salah satu alat trainning dan bisa digunakan
untuk mengukur kinerja pegawai (Priyadi, 1996: 70). Dengan demikian, secara
umum SOP dapat memberikan kemudahan kepada perusahaan untuk menjalankan
operasional perusahaan, dan selain itu pula juga dapat dijadikan acuan kerja
oleh karyawan untuk menjadi sumber daya manusia yang profesional, handal
sehingga dapat mewujudkan visi dan misi perusahaan[1].
D. Standar
Operasional Prosedur (SOP) Dalam Bmt
Prosedur Pendirian BMT merumpakan
lembaga keuangan yang bergerak di tiga bidang yaitu : pertama sebagai lembaga keuangan dalam hal ini mengelola uang
dengan pola bagi hasil, jual beli, ijaroh serta bentuk lainnya ; kedua adalah sebagai lembaga yang
bergerak dalam unit usaha (sektor riil).
Dan Ketiga yaitu bergerak dalam bidang sosial dengan cara mengelola dana yang
bersumber dari zakat, infaq, shodaqoh wakaf (ZISWAF). Namun dalam
operasionalnya tidak mesti ketiga bidang usaha tersebut di jalankan tergantung
keunggulan masing-masing BMT.
Badan hukum BMT saat ini yang paling
mungkin adalah berbentuk KJKS Koperasi Jasa Keuangan Syariah. Sehingga prosedur
perijinannya diajukan lewat Dinas Koperasi setempat berdasarkan aturan dari
Departemen Koperasi di wilayah
di mana BMT akan didirikan. Prosedur
yang biasanya dilakukan oleh para pemrakarsa pendiri BMT dapat dipaparkan
sebagai berikut :
1. Persiapan
Tim perumus Pendirian BMT
Melakukan pelatihan pemahaman tentang BMT kepada
peminat di sekitar wilayah / kawasan potensial. Lalu, melakukan identifikasi
potensi SDM , yang nanti akan menduduki / berperan sebagai pemodal, pengelola,
pengurus, dewan manajemen dan dewan syariah. Dan melakukan identifikasi
potensial pengurus dan pengelola calon BMT secara spesifik sesuai dengan
diskripsi pekerjaan yang akan ditekuni.
2. Survey
Kelayakan Lokasi
Memilih lokasi yang strategis ( dekat calon nasabah
penyimpan, transportasi mudah, ada tempat parkir, area mobilitas usaha tinggi,
set up ruangan yang okey, sesuaikan dengan kemampuan modal yang ada). Dan
mengidentifikasi wilayah seberapa besar para tokoh dan masyarakat di lingkungan
sekitarnya mendukung.
3. Survey
Kelayakan Usaha
Mengukur seberapa besar modal yang mungkin terkumpul,
semakin besar modalnya semakin baik , karena modal akan digunakan untuk :
a.
persiapan di awal pendirian seperti sewa gedung,
persiapan ATK ( slip, arsip, buku pendukung, stempel, polpen, kartu ID, dll) ,
meja dan kursi karyawan , lemari penyimpan data, satu set computer, dan
asesoris lainnya. Nilainya sekitar 7 s/d 15 juta.
b.
Pembiayaan kepada nasabah dengan harapan memperoleh
pendapatan dari usaha ini dan tambahan simpanan pihak ke III. Kalau modal yang
disiapkan untuk pembiayaan sejumlah 20 juta , maka kita bisa atur rata –rata
pembiayaan 200 ribu per nasabah diilustrasikan bahwa kalau sebagian modal awal
untuk pembiayaan sebesar 20 juta, maka dengan pembiayaan setiap nasabah sebesar
rata-rata Rp.200.000,- akan dapat menerima nasabah sebanyak 100 nasabah, sedang
potensi simpanan diharapkan bisa meningkat 25% dari besarnya pembiayaan pada
bulan berjalan, maka pendapatan yang bisa kita peroleh hanya sebesar Rp.
400.000,-/ per bulan. Artinya kalau pengeluaran BMT lebih dari pendapatan
tersebut maka diperlukan peningkatan jumlah modal dan simpanan lebih besar
lagi.
4. Pers
5. Persiapan SDM , Keuangan dan Badan Hukum
Koperasi
Rekruitmen pendiri BMT minimal 20 orang yang potensial
(baik sebagai pengurus 3 orang terdiri dari ketua, sekertaris, dan bendahara.
Kemudian mempersiapkan pengelola harian minimal 3 orang terdiri dari manajer ,
marketing dan pembukuan sekaligus merangkap teller. Dan membuat rumusan badan
hukum Koperasi Syariah konsultasi dengan Dinas Koperasi setempat dimana
koperasi akan didirikan.
6. Persiapan
Pra Operasional
Persiapkan SOB ( standar operasional Baku ) BMT
sebagai acuan kerja BMT, berisi tentang :
a.
Visi misi BMT
b.
Sistem dan prosedur pengelolaan BMT
c.
Strategi pengembangan BMT dan target-targetnya.
d.
Pengelolaan SDM termasuk gaji dan prestasi.
e.
Sistem keuangan dan akuntansinya Sambil menunggu badan
hukum , lakukan pra operasional dan konsulidasi kepada masyarakat sekitarnya.
Mempersiapkan pengumpulan dana dari pemodal minimal 50
juta sebelum operasional. Lakukan pelatihan internal dan sekaligus penguatan di
bagian marketing untuk tujuan peningkatkan simpanan dan pembiayaan. Serta
melakukan pengamanan anggaran dengan cara membuat perencanaan neraca yang
mengindikasikan terjadinya produktifitas yang tinggi menuju efisiensi yang
progresif ( sesuai dengan target dan program serta pemasukan )
7. Persiapan
Soft Opening
Melakukan tirakatan, tausiah, doa
bersama, pengajian kalau BMT akan segera dibuka secara soft opening. Lakukan
pekerjaan dengan senang hati dan jangan mendua, melayani nasabah dengan
sebaik-baiknya, serta menjaga kredibilitas BMT secara terus menerus , kerja
keras dan istiqmah. Dan melakukan terobosan dengan cerdas dengan
memperhitungkan untung ruginya kalau program kerja dijalankan.
8. Persipan
Grand Opening
a.
Menunjukkan pada publik kalau kinerja BMT baik,
gunakan alat untuk mengukur kinerja BMT.
b.
Mengundang
berbagai lapisan masyarakat potensial untuk mendukungnya.
c.
Menunjukan hasil yang sudah tercapai selama ini.
d.
Melakukan persiapan RAT internal untuk memperbaiki
kinerja keuangan dan manajemen.
9. Penguatan
pemasaran
Melakukan
pemasaran dengan pola jemput bola. Lakukan penguatan TIM marketing untuk
melakukan terobosan terobosan. Dan melakukan penguatan TIM internal untuk
mendukungnya seperti software dan lainnya.
10. Peningkatan kualitas SDM
Memberikan
peluang peluang untuk meningkatkan prestasi bagi karyawan dengan cara mengirim
karyawan dalam pelatihan dan seminar. Membentuk TIM solit jangan sampai ada
yang ragu dan keluar dari formatur (lihat gajinya, hasil kerjanya/
prestasinya). Dan menunjukkan jenjang karir yang jelas.
E. Produk Perbankan/BMT Produk dalam Prinsip Jual Beli
Pendirian
BMT didesain untuk bermitra dengan usaha-usaha mikro yang tidak bisa dijamah
oleh perbankan, baik konvensional maupun syariah. Selama ini perbankan masih
kesulitan untuk mengalirkan dananya ke usaha mikro, hal ini karena jenis usaha
ini dinilai kurang ekonomis untuk mendapatkan pembiayaan dari bank. Belum lagi karena
berbagai kendala seperti masalah agunan, serta kondisi administrasi keuangan
yang dinilai kurang memenuhi syarat.
Kegiatan
utama BMT adalah menghimpun dana dan mendistribusikan kembali kepada anggota
dengan imbalan bagi hasil atau mark up/margin sesuai syariah.
Dasar-dasar
pengelolaan BMT dengan sistem syari’ah
tidak menggunakan bunga sebab bunga adalah riba. Komitmen ini berdasarkan pada
pengertian mengenai Q.S Al Baqarah 278-279 yang berbunyi:
“Artinya :
“Hai orang-orang beriman, bertakwalah pada Allah dan tinggalkan sisa riba jika
kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak melaksanakan (apa yang
diperintahkan ini) maka ketahuilah, bahwa akan terjadi perang dahsyat dari
Allah dan RosulNya dan jika kamu bertaubat maka bagi kamu pokok harta kamu,
kamu tidak dianiaya dan tidak (pula) dianiaya”
Lalu dalam surat An Nisa ayat 29
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu”.
Dan dalam surat Ar Rum ayat 39 :
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu
berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah
pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan
untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang
yang melipat gandakan (pahalanya)”.
Apalagi setelah MUI, dalam Rakernas di Jakarta Desember
2004, menyatakan fatwanya bahwa bunga bank haram hukumnya sebab bunga bank
adalah riba. Seiring dengan gagasan Islamisasi perbankan, maka BMT pun
mempedomani prinsip bagi hasil sebagai pengganti sistim bunga. Penegasan ini diketahui dari
permulaan pendirian bank syari’ah dan kemudian BMT. Hingga sekarang ini
penilaian bahwa bunga adalah riba mungkin cenderung berkembang kepada pandangan
bahwa riba itu adalah bunga.[2] “ Sistem bunga “ dinyatakan mempunyai dampak buruk berupa pertentangan dengan
nilai akidah oleh karena perolehan keuntungan yang ditetapkan dimuka tanpa
mengindahkan untung atau rugi dari usaha yang dibiayai dengan uang pinjaman;
pertentangan dengan nilai keadilan yang terjadi pada peminjaman baik produktif
maupun konsumtif; penyebab kejahatan moral berupa terbentuknya sifat rakus
kehartaan, egoisme atau individualisme, hilangnya persaudaraan sosial dan sifat
saling mengasihi, dan melemahnya etos kerja di sektor riil oleh karena
pembungaan uang; penyebab kebencian dan permusuhan sesama dan penyebab
kejahatan ekonomi yaitu penciptaan tingginya harga jual dan ekonomi biaya
tinggi untuk pinjaman produktif dan penurunan daya beli masyarakat gara-gara
pinjaman konsumtif dengan sistem bunga.[3]
Selama ini demi menjaga konsistensi lembaga
keuangan yang mengatasnamakan Islam di Indonesia terutama pada level BMT, saat
ini lingkup lembaga keuangan Islam sangat mendesak untuk mengembangkan
pertukaran pandangan mengenai kemampuan produk-produk keuangan mereka sebagai
satu kesatuan dalam kerangka pengganti sistim bunga, yang seharusnya lebih
mampu membentuk keadilan ekonomi. Upaya itu adalah kebutuhan dalam kerangka
menghilangkan kelemahan lembaga keuangan Islam karena tidak nyangkutnya teori
dengan praktik atau antara ilmu dengan kenyataan.
Dalam
pembiayaan, fungsi dan layanan BMT tidak berbeda dengan bank syari’ah. BMT juga
menjadi penyandang dana bagi pengusaha yang datang kepadanya untuk
mengajukan permohonan dana. Besar kecil dana dalam permohonan pengusaha itu
pada akhirnya mendapatkan ketetapannya dari pihak BMT.
Jenis-jenis
layanan melalui produk BMT pun tidak berbeda dari jenis layanan bank syari’ah, diantaranya
adalah pembiayaan dengan menggunakan prinsip jual beli :
1.
Pembiayaan dengan prinsip jual beli
a.
Ba’i
Bitsaman Ajil
Penjualan
barang kepada anggota dengan mengambil keuntungan (margin) yang diketahui dan disepakati bersama, pembayaran dilakukan dengan cara
mengangsur.
b.
Murobahah
Penjualan
barang kepada anggota dengan mengambil keuntungan (margin) yang diketahui dan
disepakati bersama, pembayaran dilakukan dengan cara jatuh tempo/sekaligus. Syarat
syarat Murobahah adalah:
1.
Penjual harus memberi tahu biaya modal kepada nasabah.
2.
Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang
ditetapkan.
3.
Kontrak harus bebas dari riba.
4.
Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi
cacat atas barang sesudah pembelian.
5.
Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan
dengan pembelian.
Bai’al-murabahah
memberi banyak manfaat kepada bank syariah. Salah satunya yaitu adalah
keuntungan yang muncul dari selisi harga beli dari penjual dengan harga jual
kepada nasabah. Namun ada beberapa resiko yang harus diantisipasi yaitu :
1.
Default atau kelalaian; nasabah sengaja tidak membayar
angsuran.
2.
Fluktuasi harga komporatif; ini terjadi jika harga
suatu barang dipasar naik setelah bank membelikannya untuk nasabah. Bank tidak
bisa mengubah harga beli.
3.
Penolakan nasabah; barang yang dikirim bisa saja
ditolak oleh nasabah karena berbagai sebab.
4.
Dijual; karena bai’ al-murabahah bersifat jual beli
dengan utang, maka ketika kontrak ditandatangani barang tersebut menjadi milik
nasabah.[4]
c.
Ba’i
As-Salam (In-front
Payment Sale)
Secara terminologi berarti menjual suatu barang yang
penyerahannya ditunda, atau menjual suatu barang yang ciri-cirinya disebutkan
secara jelas dengan pembayaran modal terlebih dahulu, sedangkan barangnya
diserahkan kemudian hari. Di dalam masyarakat, siatem ini lebih dikenal dengan
jual beli pesanan atau inden. Penjualan
hasil produksi (komoditi) yang terlebih dahulu dipesan anggota dengan kriteria
tertentu yang sudah umum. Anggota harus membayar uang muka kemudian barang
dikirim belakangan (setelah jadi).[5]
Dalam transaksi ba’i as-salam mengharuskan adanya
pengukuran atau spesifikasi barang yang jelas dan keridhaan para pihak. Dalam
teknis perbankan syariah, salam berarti pembelian yang dilakukan oleh bank dan
nasabah dengan pembayaran di muka dengan jangka waktu penyerahan yang
disepakati bersama. Harga yang dibayarkan dalam salam tidak boleh dalam bentuk
utang melainkan dalam bentuk tunai yang dibayar segera. Pelaksanaan bai’
as-salam harus memenuhi sejumlah rukun berikut ini:
1.
Muslam atau pembeli
2.
Muslam ilaih atau penjual
3.
Modal atau utang
4.
Muslam fiihi atau barang
5.
Sighat atau ucapan
Dalam
praktek perbankan, ketika barang telah diserahkan pada bank,maka bank akan
menjualnya kepada rekanan nasabah atau kepada nasabah itu sendiri secara tunai
atau cicilan. Harga jual yang ditetapkan oleh bank adalah harga beli bank dari
nasabah ditambah keuntungan. Ketika bank menjualnya secara tunai biasanya
disebut pembiayaan talangan( bridging financing) sedangkan ketika bank
menjualnya secara cicilan kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka
waktu pembayaran. Ketentuan umum pembiayaan salam adalah sebagai berikut :
1.
Pembelian hasil produksi harus diketahui spesefikasinya
secara jelas seperti jenis, macam, ukuran, mutu dan jumlahnya. Misalnya jual
beli 100 kg mangga harumanis kualitas a dengan harga 5000/kg, akan diserahkan
pada panen 2 bulan mendatang.
2.
Apabila hasil produksi yang diterima cacat atau tidak
sesuai akad maka produsen harus bertanggung jawab dengan cara antara lain
mengembalikan dana yang diterimanya atau mengganti barang yang sesuai dengan
pesanan.
3.
Mengingat bank tidak menjadikan barang yang dibeli
atau dipesannya sebagai persediaan (inventory), maka dimungkinkan bagi bank
untuk melakukan akad salam kepada pihak ketiga (pembeli kedua), seperti buloq,
pedagang pasar induk. Mekanisme ini disebut dengan mekanisme paralel salam.[6]
d.
Jual beli
Istisna’
Penjualan
hasil produksi (komoditi) pesanan yang didasarkan kriteria tertentu (yang tidak
umum) anggota boleh membayar pesanan ketika masih dalam proses
pembuatan/setelah barang itu jadi dengan cara sekaligus/mengangsur. Dalam akad
jual beli ini antara pemesan/pembeli dengan produsen atau penjual dimana barang
yang akan diperjualbelikan harus dibuat lebih dahulu dengan kriteria yang
jelas. Dalam literatur fikih klasik disebutkan istishna sebagai lanjutan dari
ba’i as salam,sehinggaa ketentuan dan aturannya mengikuti akad ba’i assalam.
Adapun yang membedakannya dengan as-salam adaah pada metode pembayaran sifat
kontraknya. Pada ba’i as-salam ,
pembayaran lebih bersifat fleksibel di mana tidak dilakukan secara lunas tetapi
bertahap sesuai dengan barang yang diterima pada termin waktu tertentu. Sifat
kontrak pada skim baik as-salam adalah mengikat secara asli (thabi’i) pada
semua pihak dari semula, sedangkan pada istishna, bersifat mengikat secara
ikutan untuk melindungi produsen sehingga tidak ditinggalkan begitu saja oleh
konsumen.
Mazhab hanafi menyetujui kontrak istishsa atas dasar
istishan karena alesan tersebut:
1.
Masyarakat telah mempraktikkan istishna secara luas
dan terus menerus tanpa ada keberatan sama sekali, sehingga sudah menjadi
konsensus umum.
2.
Keberatan istishna didasarkan atas kebutuhan masyarakat
3.
Istishna sah sesuai dengan aturan umum mengenai
kebolehan kontak.
e.
Ijaroh
Pembelian
suatu barang yang dilakukan dengan cara sewa terlebih dahulu setelah masa sewa
habis maka anggota membeli barang sewa tersebut. Skim ini merupakan bentuk lain dari
ijarah di mana persewaan berakhir dengan perpindahan hak milik dan objek sewa.
Skim ini lebih banyak dipakai pada perbankan karena lebih sederhana dari sisi
pembukuan dan bank sendiri tidak direpotkan untuk pemeliharan aset, baik pada
saat leasing maupun sesudahnya.[7]
[1] Reni
Wulandari dan Endang Sulistianingsih, ”IMPLEMENTASI STANDAR OPERASIONAL DAN
PROSEDUR PELAYANAN PERIZINAN”, dalam jurnal Jurnal Administrasi Pembangunan,
Volume 1, Nomor 3, Juli 2013 (1-4), h. 2
[2] Muhammad
Ridwan, Manajemen Baitul- Mal wa Tamwil (BMT), (Yogyakarta, UII Press, 2003),
hal.33-34.
[3] . Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul- Mal wa Tamwil (BMT), (Yogyakarta, UII
Press, 2003), hal.33-34.
[4]
Syofian S, Harahap
sebagaimana dikutip Youdhi Prayogo, ”Murabahah Produk Unggulan Bank Syariah
Konsep, Prosedur, Penetapan Margin Dan Penerapan Pada Perbankan syariah”, dalam
jurnal Volume 4,Nomer 2, Desember 2012 (hlm 5-20) h. 18.
[5] Imam
Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, (Jakarta: PT Rajagrafindo,2011) hlm .82.
[6]Adiwarman Karim, Bank Islam
Analisi Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT Rajagrafindo,2004), hlm 90
[7] Al Arif
Nurinanto, Dasar Dasar Pemasaran Bank
Syariah, Alfabeta, 2010, Bandung.