Kamis, 27 April 2017

Kerangka Kerja Keuangan Berbasis Jual Beli



Kerangka Kerja Keuangan Berbasis Jual Beli

A. Kerangka Kerja Keuangan berbasis Jual Beli
Kerangka kerja (bahasa Inggris: framework) adalah suatu struktur konseptual dasar yang digunakan untuk memecahkan atau menangani suatu masalah kompleks. Istilah ini sering digunakan antara lain dalam bidang perangkat lunak untuk menggambarkan suatu desain sistem perangkat lunak yang dapat digunakan kembali, serta dalam bidang manajemen untuk menggambarkan suatu konsep yang memungkinkan penanganan berbagai jenis atau entitas bisnis secara homogen.
Jadi dari sedikit pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kerangka kerja keuangan berbasis jual beli adalah suatu konsep yang digunakan dalam sebuah lembaga keuangan untuk menggambarkan standar operasional dan produk pembiayaan dalam sebuah lembaga yang berbasis jual beli seperti bank atau bmt. Sehingga  standar operasional prosedur dalam bank atau bmt sangat diperlukan guna menunjang ke efektifitasan nya dalam peran nya di lembaga keuangan di indonesia. Standar operasional prosedur yang baik maka akan mendukung kinerja bank atau bmt dalam menjalankan tugasnya.

B.  Unsur Unsur dalam Jual Beli
1.    Pengertian Jual Beli
Jual beli menurut bahasa artinya pertukaran atau saling menukar. Sedangkan menurut pengertian fikih, jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang yang lain  dengan rukun dan syarat tertentu. Jual beli juga dapat diartikan menukar uang dengan barang yang diinginkan sesuai dengan rukun dan syarat tertentu. Setelah jual beli dilakukan secara sah, barang yang dijual menjadi milik pembeli sedangkan uang yang dibayarkan pembeli sebagai pengganti harga barang, menjadi milik penjual.
Pada masa sekarang, cara melakukan jual beli mengalami perkembangan. Di pasar swalayan ataupun mall, para pembeli dapat memilih dan mengambil barang yang dibutuhkan tanpa berhadapan dengan penjual. Pernyataan penjual (ijab) diwujudkan dalam daftar harga barang atau label harga pada barang yang dijual sedangkan pernyataan pembeli (kabul) berupa tindakan pembeli membayar barang-barang yang diambilnya.

2.    Hukum Jual Beli
Berbagai macam bentuk jual beli tersebut harus dilakukan sesuai hukum jual beli dalam agama Islam. Hukum asal jual beli adalah mubah (boleh). Allah SWT telah menghalalkan praktik jual beli sesuai ketentuan dan syari’at-Nya. Dalam Surah al-Baqarah ayat 275 Allah SWT berfirman:
Artinya :
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan  riba” (Q.S. al-Baqarah: 275)
Jual beli yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syariat agama Islam. Prinsip jual beli dalam Islam, tidak boleh merugikan salah satu pihak, baik penjual ataupun pembeli. Jual beli harus dilakukan atas dasar suka sama suka, bukan karena paksaan. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 29.
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan batil melainkan dengan jalan jual beli suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa : 29)

Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda:
Artinya :
“Dari Abi Sa’id al-Khudri berkata, Rasulullah SAW bersabda: sesungguhnya  jual beli itu didasarkan atas saling meridai” .(H.R. Ibnu Maajah).
Hukum jual beli ada 4 macam, yaitu:
a.    Mubah (boleh), merupakan hukum asal jual beli;
b.    Wajib, apabila menjual merupakan keharusan, misalnya menjual barang untuk membayar hutang;
c.    Sunah, misalnya menjual barang  kepada sahabat atau orang yang sangat memerlukan barang yang dijual;
d.   Haram, misalnya menjual barang yang dilarang untuk diperjualbelikan. Menjual barang untuk maksiat, jual beli untuk menyakiti seseorang, jual beli untuk merusak harga pasar, dan jual beli dengan tujuan merusak ketentraman masyarakat.
3.    Rukun dan Syarat Jual Beli
Rukun dan syarat jual beli adalah ketentuan ketentuan dalam jual beli yang harus di penuhi agar jual belinya sah menurut syara’ ( hukum islam).
a.    Orang yang melakukan jual beli
Syarat – syarat yang harus dimiliki oleh penjual dan pembeli adalah:
1.    Berakal
2.    Baligh
3.    Berhak menggunakan hartanya. Orang yang tidak berhat menggunakan (membelanjakan) hartanya karena sangat bodoh tidak sah jual belinya.
b.    Sigat atau ucapan ijab kabul.
Ulama fiqih sepakat bahwa unsur utama dalam jual beli adalah kerelaan antara penjual dan pembeli. Karena kerelaan itu berada dalam hati, maka harus diwujudkann melalui ucapan ijab (dari pihak penjual) dan kabul (dari pihak pembeli)
c.    Barang yang di perjual belikan.
Barang yang di perjual belikan harus memenuhi syarat – syarat yang diharuskan, antara lain:
1.    Barang yang diperjual belikan harus halal.
2.    Barang itu ada manfaatnya.
3.    Barang itu ada di tempat, atau tidak ada tetapi sudah tersedia di tempat lain, misal di gudang.
4.    Barang itu milik penjual atau berada dibawah kekuasaannya.
5.    Barang itu hendaklah diketahui oleh penjual dan pembeli dengan jelas, baik zatnya, bentuknya dan kadarnya maupun sifat – sifatnya.
d.   Nilai tukar barang yang di jual
Syarat – syarat nilai tukar barang yang di jual adalah :
1.    Harga jual yang disepakati penjual dan pembeli harus jelas jumlahnya.
2.    Nilai tukar barang itu dapat diserahkan pada waktu transaksi jual beli, walaupun secara hukum, misalnya pembayaran menggunakan cek atau kartu kredit.
3.    Apabila jual beli dilakukan secara barter, maka nilai tukarnya tidak boleh dengan barang yang haram.

4.    Membedakan jual beli yang diperbolehkan dan jual beli yang dilarang
Jual beli yang diperbolehkan dalam Islam adalah :
a.    telah memenuhi rukun dan syarat dalam jual beli
b.    jenis barang yang dijual halal
c.    jenis barangnya suci
d.   barang yang dijual memiliki manfaat
e.    atas dasar suka sama suka bukan karena paksaan
f.     saling menguntungkan
Adapun bentuk-bentuk jual beli yang terlarang dalam agama Islam karena merugikan masyarakat di antaranya  sebagai berikut:
a.    memperjual belikan barang-barang yang haram
b.    jual beli barang untuk mengacaukan pasar
c.    jual beli barang curian
d.   jual beli dengan syarat tertentu
e.    jual beli yang mengandung unsur tipuan
f.     jual beli barang yang belum jelas misalnya menjual ikan dalam kolam
g.    jual beli barang untuk ditimbun


5.    Khiyar
Dalam jual beli sering terjadi penyesalan di antara penjual dan pembeli. Penyesalan  ini terjadi karena kurang hati-hati, tergesa-gesa atau sebab lainnya. Untuk menghindari penyesalan dalam jual beli, maka Islam memberikan jalan dengan khiyar. Khiyar adalah hak untuk meneruskan jual beli atau membatalkannya. Maksudnya, baik penjual atau pembeli mempunyai kesempatan untuk mengambil keputusan apakah meneruskan jual beli atau membatalkannya dalam waktu tertentu atau karena sebab tertentu. Khiyar dalam jual beli ada tiga macam yaitu:
a.    Khiyar majlis
Khiyar majlis adalah hak bagi penjual dan pembeli yang melakukan akad jual beli untuk membatalkan atau meneruskan akad jual beli selama mereka masih belum berpisah dari tempat akad. Apabila keduanya telah berpisah dari satu majlis, maka hilanglah hak khiyar majlis ini.
b.      Khiyar syarat
Khiyar syarat adalah suatu keadaan yang membolehkan salah seorang atau masing-masing orang yang melakukan akad untuk membatalkan atau menetapkan jual belinya setelah mempertimbangkan dalam 1, 2, atau 3 hari.  Setelah waktu yang ditentukan tiba, maka jual beli harus segera ditegaskan untuk dilanjutkan atau dibatalkan. Waktu khiyar syarat selama 3 hari 3 malam terhitung waktu akad.
c.    Khiyar ‘aibi
Khiyar ‘aibi adalah hak untuk memilih meneruskan atau membatalkan jual beli karena ada cacat atau kerusakan pada barang yang tidak kelihatan pada saat ijab kabul. Pada masa sekarang, untuk memberikan pelayanan yang memuaskan kepada pembeli, para produsen dan penjual barang biasanya memberikan jaminan produk atau garansi. Pemberian garansi juga dimaksudkan untuk menghindari adanya kekecewaan pembeli terhadap barang yang dibelinya.
Khiyar diperbolehkan oleh Rasulullah Muhammad SAW karena memiliki manfaat. Di antara manfaat khiyar adalah untuk menghindari adanya rasa tidak puas terhadap barang yang dibeli, menghindari penipuan, dan untuk membina ukhuwah antara penjual dan pembeli. Dengan adanya khiyar, penjual dan pembeli  merasa puas.

C.  Standar Operasional Prosedur (SOP)
Standar Operasional Prosedur merupakan pedoman penting tingkat dua  pada struktur organisasi sistem setelah pedoman sistem mutu. Suatu prosedur secara umum dapat didefinisikan sebagai cara yang ditentukan secara spesifik untuk melaksanakan aktifitas. Pada pelaksanaannya, suatu prosedur berfungsi sebagai pedoman yang menyatakan aliran kegiatan dan menetapkan tanggung jawab,wewenang yang berhubungan dengan kegiatan tertentu (Rachman, 2005: 79). Prosedur-prosedur mutu merupakan dokumentasi dasar dari manual mutu. Prosedur dan instruksi kerja merupakan panduan untuk keperluan intern lembaga atau perusahaan. Dokumen-dokumen ini berisi tentang prosedur operasional untuk aktifitas organisasi sehari-hari (Rachman, 2005: 80). Menurut Priyadi (1996: 67)prosedur adalah cara tertulis yang ditentukan untuk melaksanakan suatu kegiatan oleh bagian atau personil, sedangkan instruksi adalah cara kerja secara tertulis yang ditujukan kepada bagian atau personil untuk melakukan suatu kegiatan tertentu yang dapat disertai dengan gambar proses, peta alur kegiatan, cara memproses, dan sebagainya. Secara umum, SOP merupakan gambaran langkah-langkah kerja (sistem, mekanisme dan tata kerja internal) yang diperlukan dalam pelaksanaan suatu tugas untuk mencapai tujuan instansi pemerintah. SOP sebagai suatu dokumen atau instrumen memuat tentang proses dan prosedur suatu kegiatan yang bersifatefektif dan efisisen berdasarkan suatu standar yang sudah baku. Pengembangan instrumen manajemen tersebut dimaksudkan untuk memastikan bahwa proses pelayanan di seluruh unit kerja pemerintahan dapat terkendali dan dapat berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku (Priyadi, 1996: 68).


1.    Pengertian SOP
a.    Suatu standar atau pedoman tertulis yang dipergunakan untuk mendorong dan menggerakkan suatu kelompok untuk mencapai tujuan organisasi.
b.    SOP merupakan tata cara atau tahapan yang dibakukan dan yang harus dilalui untuk menyelesaikan suatu proses kerja tertentu.
2.    Tujuan SOP
a.    Agar petugas/pegawai menjaga konsistensi dan tingkat kinerja petugas/pegawai atau tim dalam organisasi atau unit kerja.
b.    Agar mengetahui dengan jelas peran dan fungsi tiap-tiap posisi dalam organisasi.
c.    Memperjelas alur tugas, wewenang dan tanggung jawab dari petugas/pegawai terkait.
d.   Melindungi organisasi atau unit kerja dan petugas/pegawai dari malpraktek atau kesalahan administrasi lainnya.
e.    Untuk menghindari kegagalan atau kesalahan, keraguan, duplikasi dan inefisiensi.
3.    Fungsi SOP
a.    Memperlancar tugas petugas/pegawai atau tim/unit kerja.
b.    Sebagai dasar hukum bila terjadi penyimpangan.
c.    Mengetahui dengan jelas hambatan-hambatannya dan mudah dilacak.
d.   Mengarahkan petugas/pegawai untuk sama-sama disiplin dalam bekerja.
e.    Sebagai pedoman dalam melaksanakan pekerjaan rutin.
4.    Kapan SOP Diperlukan
a.    SOP harus sudah ada sebelum suatu pekerjaan dilakukan.
b.    SOP digunakan untuk menilai apakah pekerjaan tersebut sudah dilakukan dengan baik atau tidak.
c.    Uji SOP sebelum dijalankan, dilakukan revisi jika ada perubahan langkah kerja yang dapat mempengaruhi lingkungan kerja.



5.    Keuntungan Adanya SOP
a.    SOP yang baik akan menjadi pedoman bagi pelaksana, menjadi alat komunikasi dan pengawasan dan menjadikan pekerjaan diselesaikan secara konsisten.
b.    Para pegawai akan lebih memiliki percaya diri dalam bekerja dan tahu apa yang harus dicapai dalam setiap pekerjaan.
c.    SOP juga bisa dipergunakan sebagai salah satu alat trainning dan bisa digunakan untuk mengukur kinerja pegawai (Priyadi, 1996: 70). Dengan demikian, secara umum SOP dapat memberikan kemudahan kepada perusahaan untuk menjalankan operasional perusahaan, dan selain itu pula juga dapat dijadikan acuan kerja oleh karyawan untuk menjadi sumber daya manusia yang profesional, handal sehingga dapat mewujudkan visi dan misi perusahaan[1].

D.      Standar Operasional Prosedur (SOP) Dalam Bmt
Prosedur Pendirian BMT merumpakan lembaga keuangan yang bergerak di tiga bidang yaitu : pertama sebagai lembaga keuangan dalam hal ini mengelola uang dengan pola bagi hasil, jual beli, ijaroh serta bentuk lainnya ; kedua adalah sebagai lembaga yang bergerak dalam unit usaha (sektor riil). Dan Ketiga yaitu bergerak dalam bidang sosial dengan cara mengelola dana yang bersumber dari zakat, infaq, shodaqoh wakaf (ZISWAF). Namun dalam operasionalnya tidak mesti ketiga bidang usaha tersebut di jalankan tergantung keunggulan masing-masing BMT.
Badan hukum BMT saat ini yang paling mungkin adalah berbentuk KJKS Koperasi Jasa Keuangan Syariah. Sehingga prosedur perijinannya diajukan lewat Dinas Koperasi setempat berdasarkan aturan dari Departemen Koperasi di wilayah
di mana BMT akan didirikan. Prosedur yang biasanya dilakukan oleh para pemrakarsa pendiri BMT dapat dipaparkan sebagai berikut :
1.      Persiapan Tim perumus Pendirian BMT
Melakukan pelatihan pemahaman tentang BMT kepada peminat di sekitar wilayah / kawasan potensial. Lalu, melakukan identifikasi potensi SDM , yang nanti akan menduduki / berperan sebagai pemodal, pengelola, pengurus, dewan manajemen dan dewan syariah. Dan melakukan identifikasi potensial pengurus dan pengelola calon BMT secara spesifik sesuai dengan diskripsi pekerjaan yang akan ditekuni.
2.      Survey Kelayakan Lokasi
Memilih lokasi yang strategis ( dekat calon nasabah penyimpan, transportasi mudah, ada tempat parkir, area mobilitas usaha tinggi, set up ruangan yang okey, sesuaikan dengan kemampuan modal yang ada). Dan mengidentifikasi wilayah seberapa besar para tokoh dan masyarakat di lingkungan sekitarnya mendukung.
3.      Survey Kelayakan Usaha
Mengukur seberapa besar modal yang mungkin terkumpul, semakin besar modalnya semakin baik , karena modal akan digunakan untuk :
a.    persiapan di awal pendirian seperti sewa gedung, persiapan ATK ( slip, arsip, buku pendukung, stempel, polpen, kartu ID, dll) , meja dan kursi karyawan , lemari penyimpan data, satu set computer, dan asesoris lainnya. Nilainya sekitar 7 s/d 15 juta.
b.    Pembiayaan kepada nasabah dengan harapan memperoleh pendapatan dari usaha ini dan tambahan simpanan pihak ke III. Kalau modal yang disiapkan untuk pembiayaan sejumlah 20 juta , maka kita bisa atur rata –rata pembiayaan 200 ribu per nasabah diilustrasikan bahwa kalau sebagian modal awal untuk pembiayaan sebesar 20 juta, maka dengan pembiayaan setiap nasabah sebesar rata-rata Rp.200.000,- akan dapat menerima nasabah sebanyak 100 nasabah, sedang potensi simpanan diharapkan bisa meningkat 25% dari besarnya pembiayaan pada bulan berjalan, maka pendapatan yang bisa kita peroleh hanya sebesar Rp. 400.000,-/ per bulan. Artinya kalau pengeluaran BMT lebih dari pendapatan tersebut maka diperlukan peningkatan jumlah modal dan simpanan lebih besar lagi.
4.      Pers
5.       Persiapan SDM , Keuangan dan Badan Hukum Koperasi
Rekruitmen pendiri BMT minimal 20 orang yang potensial (baik sebagai pengurus 3 orang terdiri dari ketua, sekertaris, dan bendahara. Kemudian mempersiapkan pengelola harian minimal 3 orang terdiri dari manajer , marketing dan pembukuan sekaligus merangkap teller. Dan membuat rumusan badan hukum Koperasi Syariah konsultasi dengan Dinas Koperasi setempat dimana koperasi akan didirikan.
6.      Persiapan Pra Operasional
Persiapkan SOB ( standar operasional Baku ) BMT sebagai acuan kerja BMT, berisi tentang :
a.    Visi misi BMT
b.    Sistem dan prosedur pengelolaan BMT
c.    Strategi pengembangan BMT dan target-targetnya.
d.   Pengelolaan SDM termasuk gaji dan prestasi.
e.    Sistem keuangan dan akuntansinya Sambil menunggu badan hukum , lakukan pra operasional dan konsulidasi kepada masyarakat sekitarnya.

Mempersiapkan pengumpulan dana dari pemodal minimal 50 juta sebelum operasional. Lakukan pelatihan internal dan sekaligus penguatan di bagian marketing untuk tujuan peningkatkan simpanan dan pembiayaan. Serta melakukan pengamanan anggaran dengan cara membuat perencanaan neraca yang mengindikasikan terjadinya produktifitas yang tinggi menuju efisiensi yang progresif ( sesuai dengan target dan program serta pemasukan )




7.      Persiapan Soft Opening
Melakukan tirakatan, tausiah, doa bersama, pengajian kalau BMT akan segera dibuka secara soft opening. Lakukan pekerjaan dengan senang hati dan jangan mendua, melayani nasabah dengan sebaik-baiknya, serta menjaga kredibilitas BMT secara terus menerus , kerja keras dan istiqmah. Dan melakukan terobosan dengan cerdas dengan memperhitungkan untung ruginya kalau program kerja dijalankan.

8.      Persipan Grand Opening
a.    Menunjukkan pada publik kalau kinerja BMT baik, gunakan alat untuk mengukur kinerja BMT.
b.     Mengundang berbagai lapisan masyarakat potensial untuk mendukungnya.
c.    Menunjukan hasil yang sudah tercapai selama ini.
d.   Melakukan persiapan RAT internal untuk memperbaiki kinerja keuangan dan manajemen.
9.      Penguatan pemasaran
Melakukan pemasaran dengan pola jemput bola. Lakukan penguatan TIM marketing untuk melakukan terobosan terobosan. Dan melakukan penguatan TIM internal untuk mendukungnya seperti software dan lainnya.
10.   Peningkatan kualitas SDM
Memberikan peluang peluang untuk meningkatkan prestasi bagi karyawan dengan cara mengirim karyawan dalam pelatihan dan seminar. Membentuk TIM solit jangan sampai ada yang ragu dan keluar dari formatur (lihat gajinya, hasil kerjanya/ prestasinya). Dan menunjukkan jenjang karir yang jelas.



E.   Produk Perbankan/BMT Produk dalam Prinsip Jual Beli

Pendirian BMT didesain untuk bermitra dengan usaha-usaha mikro yang tidak bisa dijamah oleh perbankan, baik konvensional maupun syariah. Selama ini perbankan masih kesulitan untuk mengalirkan dananya ke usaha mikro, hal ini karena jenis usaha ini dinilai kurang ekonomis untuk mendapatkan pembiayaan dari bank. Belum lagi karena berbagai kendala seperti masalah agunan, serta kondisi administrasi keuangan yang dinilai kurang memenuhi syarat.
Kegiatan utama BMT adalah menghimpun dana dan mendistribusikan kembali kepada anggota dengan imbalan bagi hasil atau mark up/margin sesuai syariah.
Dasar-dasar pengelolaan BMT dengan sistem syari’ah tidak menggunakan bunga sebab bunga adalah riba. Komitmen ini berdasarkan pada pengertian mengenai Q.S Al Baqarah 278-279 yang berbunyi:
“Artinya : “Hai orang-orang beriman, bertakwalah pada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak melaksanakan (apa yang diperintahkan ini) maka ketahuilah, bahwa akan terjadi perang dahsyat dari Allah dan RosulNya dan jika kamu bertaubat maka bagi kamu pokok harta kamu, kamu tidak dianiaya dan tidak (pula) dianiaya”







Lalu dalam surat An Nisa ayat 29


“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.
Dan dalam surat Ar Rum ayat 39 :
     

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”.
Apalagi setelah MUI, dalam Rakernas di Jakarta Desember 2004, menyatakan fatwanya bahwa bunga bank haram hukumnya sebab bunga bank adalah riba. Seiring dengan gagasan Islamisasi perbankan, maka BMT pun mempedomani prinsip bagi hasil sebagai pengganti sistim bunga. Penegasan ini diketahui dari permulaan pendirian bank syari’ah dan kemudian BMT. Hingga sekarang ini penilaian bahwa bunga adalah riba mungkin cenderung berkembang kepada pandangan bahwa  riba itu adalah bunga.[2] “ Sistem bunga “ dinyatakan mempunyai dampak buruk berupa pertentangan dengan nilai akidah oleh karena perolehan keuntungan yang ditetapkan dimuka tanpa mengindahkan untung atau rugi dari usaha yang dibiayai dengan uang pinjaman; pertentangan dengan nilai keadilan yang terjadi pada peminjaman baik produktif maupun konsumtif; penyebab kejahatan moral berupa terbentuknya sifat rakus kehartaan, egoisme atau individualisme, hilangnya persaudaraan sosial dan sifat saling mengasihi, dan melemahnya etos kerja di sektor riil oleh karena pembungaan uang; penyebab kebencian dan permusuhan sesama dan penyebab kejahatan ekonomi yaitu penciptaan tingginya harga jual dan ekonomi biaya tinggi untuk pinjaman produktif dan penurunan daya beli masyarakat gara-gara pinjaman konsumtif dengan sistem bunga.[3] Selama ini demi menjaga konsistensi lembaga keuangan yang mengatasnamakan Islam di Indonesia terutama pada level BMT, saat ini lingkup lembaga keuangan Islam sangat mendesak untuk mengembangkan pertukaran pandangan mengenai kemampuan produk-produk keuangan mereka sebagai satu kesatuan dalam kerangka pengganti sistim bunga, yang seharusnya lebih mampu membentuk keadilan ekonomi. Upaya itu adalah kebutuhan dalam kerangka menghilangkan kelemahan lembaga keuangan Islam karena tidak nyangkutnya teori dengan praktik atau antara ilmu dengan kenyataan.
Dalam pembiayaan, fungsi dan layanan BMT tidak berbeda dengan bank syari’ah. BMT juga menjadi penyandang dana bagi pengusaha yang  datang kepadanya untuk mengajukan permohonan dana. Besar kecil dana dalam permohonan pengusaha itu pada akhirnya mendapatkan ketetapannya dari pihak BMT.


Jenis-jenis layanan melalui produk BMT pun tidak berbeda dari jenis layanan bank syari’ah, diantaranya adalah pembiayaan dengan menggunakan prinsip jual beli :

1.    Pembiayaan dengan prinsip jual beli
a.    Ba’i Bitsaman Ajil
Penjualan barang kepada anggota dengan mengambil keuntungan (margin) yang diketahui dan disepakati bersama, pembayaran dilakukan dengan cara mengangsur.
b.    Murobahah
Penjualan barang kepada anggota dengan mengambil keuntungan (margin) yang diketahui dan disepakati bersama, pembayaran dilakukan dengan cara jatuh tempo/sekaligus. Syarat syarat Murobahah adalah:
1.    Penjual harus memberi tahu biaya modal kepada nasabah.
2.    Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan.
3.    Kontrak harus bebas dari riba.
4.    Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian.
5.    Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian.
Bai’al-murabahah memberi banyak manfaat kepada bank syariah. Salah satunya yaitu adalah keuntungan yang muncul dari selisi harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah. Namun ada beberapa resiko yang harus diantisipasi yaitu :
1.    Default atau kelalaian; nasabah sengaja tidak membayar angsuran.
2.    Fluktuasi harga komporatif; ini terjadi jika harga suatu barang dipasar naik setelah bank membelikannya untuk nasabah. Bank tidak bisa mengubah harga beli.
3.    Penolakan nasabah; barang yang dikirim bisa saja ditolak oleh nasabah karena berbagai sebab.
4.    Dijual; karena bai’ al-murabahah bersifat jual beli dengan utang, maka ketika kontrak ditandatangani barang tersebut menjadi milik nasabah.[4]

c.    Ba’i As-Salam (In-front Payment Sale)
Secara terminologi berarti menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu barang yang ciri-cirinya disebutkan secara jelas dengan pembayaran modal terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan kemudian hari. Di dalam masyarakat, siatem ini lebih dikenal dengan jual beli pesanan atau inden. Penjualan hasil produksi (komoditi) yang terlebih dahulu dipesan anggota dengan kriteria tertentu yang sudah umum. Anggota harus membayar uang muka kemudian barang dikirim belakangan (setelah jadi).[5]
Dalam transaksi ba’i as-salam mengharuskan adanya pengukuran atau spesifikasi barang yang jelas dan keridhaan para pihak. Dalam teknis perbankan syariah, salam berarti pembelian yang dilakukan oleh bank dan nasabah dengan pembayaran di muka dengan jangka waktu penyerahan yang disepakati bersama. Harga yang dibayarkan dalam salam tidak boleh dalam bentuk utang melainkan dalam bentuk tunai yang dibayar segera. Pelaksanaan bai’ as-salam harus memenuhi sejumlah rukun berikut ini:
1.    Muslam atau pembeli
2.    Muslam ilaih atau penjual
3.    Modal atau utang
4.    Muslam fiihi atau barang
5.    Sighat atau ucapan

Dalam praktek perbankan, ketika barang telah diserahkan pada bank,maka bank akan menjualnya kepada rekanan nasabah atau kepada nasabah itu sendiri secara tunai atau cicilan. Harga jual yang ditetapkan oleh bank adalah harga beli bank dari nasabah ditambah keuntungan. Ketika bank menjualnya secara tunai biasanya disebut pembiayaan talangan( bridging financing) sedangkan ketika bank menjualnya secara cicilan kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Ketentuan umum pembiayaan salam adalah sebagai berikut :
1.    Pembelian hasil produksi harus diketahui spesefikasinya secara jelas seperti jenis, macam, ukuran, mutu dan jumlahnya. Misalnya jual beli 100 kg mangga harumanis kualitas a dengan harga 5000/kg, akan diserahkan pada panen 2 bulan mendatang.
2.    Apabila hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai akad maka produsen harus bertanggung jawab dengan cara antara lain mengembalikan dana yang diterimanya atau mengganti barang yang sesuai dengan pesanan.
3.    Mengingat bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau dipesannya sebagai persediaan (inventory), maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad salam kepada pihak ketiga (pembeli kedua), seperti buloq, pedagang pasar induk. Mekanisme ini disebut dengan mekanisme paralel salam.[6]

d.   Jual beli Istisna’
Penjualan hasil produksi (komoditi) pesanan yang didasarkan kriteria tertentu (yang tidak umum) anggota boleh membayar pesanan ketika masih dalam proses pembuatan/setelah barang itu jadi dengan cara sekaligus/mengangsur. Dalam akad jual beli ini antara pemesan/pembeli dengan produsen atau penjual dimana barang yang akan diperjualbelikan harus dibuat lebih dahulu dengan kriteria yang jelas. Dalam literatur fikih klasik disebutkan istishna sebagai lanjutan dari ba’i as salam,sehinggaa ketentuan dan aturannya mengikuti akad ba’i assalam. Adapun yang membedakannya dengan as-salam adaah pada metode pembayaran sifat kontraknya. Pada ba’i as-salam  , pembayaran lebih bersifat fleksibel di mana tidak dilakukan secara lunas tetapi bertahap sesuai dengan barang yang diterima pada termin waktu tertentu. Sifat kontrak pada skim baik as-salam adalah mengikat secara asli (thabi’i) pada semua pihak dari semula, sedangkan pada istishna, bersifat mengikat secara ikutan untuk melindungi produsen sehingga tidak ditinggalkan begitu saja oleh konsumen.
Mazhab hanafi menyetujui kontrak istishsa atas dasar istishan karena alesan tersebut:
1.    Masyarakat telah mempraktikkan istishna secara luas dan terus menerus tanpa ada keberatan sama sekali, sehingga sudah menjadi konsensus umum.
2.    Keberatan istishna didasarkan atas kebutuhan masyarakat
3.    Istishna sah sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontak.

e.    Ijaroh
Pembelian suatu barang yang dilakukan dengan cara sewa terlebih dahulu setelah masa sewa habis maka anggota membeli barang sewa tersebut. Skim ini merupakan bentuk lain dari ijarah di mana persewaan berakhir dengan perpindahan hak milik dan objek sewa. Skim ini lebih banyak dipakai pada perbankan karena lebih sederhana dari sisi pembukuan dan bank sendiri tidak direpotkan untuk pemeliharan aset, baik pada saat leasing maupun sesudahnya.[7]


[1] Reni Wulandari dan Endang Sulistianingsih, ”IMPLEMENTASI STANDAR OPERASIONAL DAN PROSEDUR PELAYANAN PERIZINAN”, dalam jurnal Jurnal Administrasi Pembangunan, Volume 1, Nomor 3, Juli 2013 (1-4), h. 2
[2] Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul- Mal wa Tamwil (BMT), (Yogyakarta, UII Press, 2003), hal.33-34.
[3] . Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul- Mal wa Tamwil (BMT), (Yogyakarta, UII Press, 2003), hal.33-34.

[4] Syofian S, Harahap sebagaimana dikutip Youdhi Prayogo, ”Murabahah Produk Unggulan Bank Syariah Konsep, Prosedur, Penetapan Margin Dan Penerapan Pada Perbankan syariah”, dalam jurnal Volume 4,Nomer 2, Desember 2012 (hlm 5-20) h. 18.

[5] Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, (Jakarta: PT Rajagrafindo,2011) hlm .82.
[6]Adiwarman Karim, Bank Islam Analisi Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT Rajagrafindo,2004), hlm 90

[7] Al Arif Nurinanto, Dasar Dasar Pemasaran Bank Syariah, Alfabeta, 2010, Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar