BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bank syariah merupakan lembaga keuangan bank yang dikelola
dengan dasar-dasar syariah, baik itu berupa nilai prinsip dan konsep. Sebagai
sebuah entitas bisnis, dalam kegiatan usahanya bank khususnya bank syariah menghadapi
risiko-risiko yang memiliki potensi mendatangkan kerugian. Risiko ini tidaklah
bisa selalu dihindari tetapi harus dikelola dengan baik tanpa harus mengurangi
hasil yang harus dicapai. Risiko yang dikelola dengan tepat dapat memberikan
manfaat kepada bank dalam menghasilkan laba.
Sebagai salah satu pilar sektor keuangan dalam melaksanakan
fungsi intermediasi dan pelayanan jasa keuangan, sektor perbankan jelas sangat
memerlukan adanya distribusi risiko yang efisien. Tingkat efisiensi dalam
distribusi risiko inilah yang nantinya menentukan alokasi sumberdaya dana di
dalam perekonomian. Oleh karena itu pelaku sektor perbankan, dan bank syariah
khususnya di tuntut untuk mampu secara efektif mengelola risiko yang
dihadapinya. Salah satunya adalah risiko pembiayaan dalam bank islam. Karena
pembiayaan merupakan salah satu faktor terpenting dalam menjaga sistem
operasional perbankan agar tetap berjalan dengan baik, maka harus ada manajemen
risiko yang mampu menangani masalah pembiayaan pada perbankan syariah. Untuk
itu akan dibahas masalah risiko pembiayaan lebih lanjut dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja fungsi bank islam?
2. Bagaimana urgensi manajemen risiko pembiayaan pada bank islam?
3. Apa definisi risiko pembiayaan dan cakupanya?
4. Bagaimana peranan Rahn dan Kafalah?
5. Apa saja faktor penentu risiko pembiayan?
6. Bagaimana provisi risiko pembiayaan?
7. Bagaimana limit risiko pembiayaan?
8. Bagaimana risiko konsentrasi fortofolio pembiayaan?
9. Pengelolaan fortofolio pembiayaan?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui fungsi bank islam
2. Mengetahui urgensi manajemen risiko pembiayaan pada bank islam
3. Mengetahui definisi risiko pembiayaan dan cakupanya
4. Mengetahui peranan Rahn dan Kafalah
5. Mengetahui faktor penentu risiko pembiayan
6. Mengetahui provisi risiko pembiayaan
7. Mengetahui limit risiko pembiayaan
8. Mengetahui risiko konsentrasi fortofolio pembiayaan
9. Mengetahui fortofolio pembiayaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
FUNGSI BANK ISLAM
Bank islam atau syariah memiliki tiga fungsi utama yaitu
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk titipan dan investasi, menyalurkan
dana kepada masyarakat yang membutuhkan dana dari bank, dan juga memberikan
pelayanan dalam bentuk jasa perbankan syariah.
1.
Menghimpun dana dari masyarakat
Bank sayariah menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk titipan dengan menggunakan akad wadiah dan dalam bentuk
investasi dengan menggunakan akad mudarabah. Dalam akad wadiah dimana pihak
pertama menitipkan dananya kepada bank, dan bank menerima titipan untuk dapat
dimanfaatkan titipan tersebut dengan transaksi yang diperbolehkan dalan islam.
Dalam akad mudarabah pihak mudharib dapat memanfaatkan dana yang diinvestasikan
oleh shahibul maluntuk tujuan tertentu yang diperbolehkan dalam islam.
Masyarakat mempercayai bank syariah
sebagai tempat yang aman untuk melakuakan investasi dan menyimpan dana.
Masyarakat yang kelebihan dana membutuhkan keberadaan bank syariah untuk
menitipkan dananya atau menginvestasikan dananya dengan aman.
2.
Penyaluran dana kepada masyarakat
Bank menyalurkan dana kepada masyarakat
dengan menggunakan beramacam-macam akad, antara lain akad jual beli dan akad
kemitraan atau kerja sama usaha. Kegiatan penyaluran dana kepada masyarakat,
disamping merupakan aktivitas yang dapat menghasilkan keuntungan dan bagi
hasil, juga untuk memanfaatkan dana yang idle (idle fund).[1]
3.
Pelayanan jasa bank
Pelayanan jasa bank syariah ini
diberikan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam menjalankan
aktivitasnya. Berbagai jenis pelayanan jasa yang dapat diberikan bank syariah
antara lain jasa pengiriman uang (transfer, pemindahbukuan, penagihan surat
berharga, kliring, latter of kredit dan lainnya). Aktivitas pelayanan jasa
merupakan aktivitas yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan bank yang
berasal fee atas pelayanan jasa bank sehingga bank sayariah
belomba-lomba untuk berinovasi dalam meningkatkan kualitas produk layanan
jasanya.[2]
B.
URGENSI MANAJEMEN
RISIKO PEMBIAYAAN PADA BANK ISLAM
Dalam perspektif
persaingan, proses menyeleksi debitur dan menetapkan “harga”, berdasarkan
profil risiko dan kontribusinya terhadap portofolio pembiayaan bank Islam
haruslah menjadi penting. Buruknya proses seleksi dapat mengakibatkan bank
mengalami risiko salah pilih (adverse selection). Bank yang tidak mampu
membedakan profil risiko dari calon debitur tanpa menggunakan strategi
diferensiasi harga, memungkinkan terjadinya salah penetapan harga. Debitur baik
merasa diberikan harga terlalu tinggi dan membuat mereka kabur. Sebaliknya,
debitur jelek merasa diberikan harga yang rendah sehingga mendorong mereka
untuk masuk. Kondisi ini, dalam jangka panjang, akan menyebabkan portofolio
bank diisi hanya oleh debitur yang jelek dengan tingkat risiko yang tinggi.
Setiap regulator di
masing-masing negara akan memaksa perbankan untuk menjaga tingkat risikonya,
melalui berbagai regulasi dan peraturan. Seperti, di Indonesia, BI menetapkan
aturan CAR (capital adequacy ratio), perhitungan NPF, pelaporan berkala,
dan sebagainya. Secara internasional, pada tahun 1988 di Basel, Swis,
terbentuklah basel I yang merupakan serangkaian kebijakan bank sentral dari
seluruh dunia terkait persyaratan minimum modal untuk bank yang diterbitkan
oleh komite basel. Kemudian tahun 2004, negara G30 menyempurnakan basel I dan
lahirlah basel II yang telah mencakup risiko kredit, risiko pasar dan risiko
operasional dari bank. Dan pada tahun 2010, keluarlah basel III untuk
menyempurnakan basel II.
Bank Indonesia mengadopsi
aturan basel II dan IFSN dalam mendesain peraturan manajemen risiko, yakni
melalui PBI Nomor 13/23/PBI/2011. Bank yang tidak mampu mengatasi risikonya
akan dikenakan tingkat risiko standar yang ditetapkan oleh regulator. Dalam
basel II dan basel III, ini dikenal dengan standardized approach. Ini
seharusnya menjadi insentif bagi bank Islam untuk segera memiliki dan
menerapkan sistem manajemen risiko, termasuk alat pengukurannya, agar kemampuan
bank dalam menyalurkan.
C.
DEFINISI RISIKO
PEMBIAYAAN DAN CAKUPANNYA
Dalam arti sempit,
pembiayaan dipakai untuk mendefinisikan pendanaan yang dilakukan oleh lembaga
pembiayaan seperti bank syariah kepada nasabah. Pembiayaan secara luas berarti financing
atau pembelanjaan yaitu pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi
yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun dikerjakan oleh orang
lain.
Menurut M. Syafi’I
Antonio menjelaskan bahwa pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank
yaitu pemberian fasilitas dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang
merupakan deficit unit.[3]
Sedangkan menurut UU
No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan :
Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan
yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara
bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan
uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau
bagi hasil.
Yang
dimaksud dengan risiko pembiayaan adalah risiko yang disebabkan oleh adanya
kegagalan counterparty dalam memenuhi kewajiban pada bank syariah,
risiko pembiayaan mencakup risiko terkait produk dengan terkait pembiayaan
korporasi.
1.
Risiko
terkait produk
a.
Risiko
terkait pembiayaan berbasis Natural Certainty Contracts (NCC)
Yang dimaksud dengan Analisis Resiko Pembiayaan Berbasis Natural
Certainty Contracts adalah mengidentifikasi dan menganalisis dampak dari
seluruh resiko nasabah sehingga keputusan pembiayaan yang diambil sudah
memperhitungkan risiko yang ada dari pembiayaan berbasis Natural Certainty Contracts, seperti murabahah, ijarah, ijarah muntahia
bit tamlik, salam, dan istisna’.
Penilain risiko ini mencakup 2 (dua) aspek, yaitu sebagai berikut.
1) Default Risk (risiko
kebangkrutan) yakni risiko yang terjadi pada First Way Out.
2) Recovery Risk (risiko
jaminan) yakni risiko yang terjadi pada Second Way Out.
Default Risk (risiko kebangkrutan) yakni risiko yang terjadi pada First Way Out yang dipengaruhi oleh hal-hal berikut.
1)
Industry
Risk yaitu risiko yang terjadi pada jenis usaha
yang ditentukan oleh hal-hal berikut.
-
Karakteristik masing-masing jenis usaha yang
bersangkutan
-
Riwayat
eksposur pembiayaan yang bersangkutan di bank konvensional dan pembiayaan yang
bersangkutan di bank syariah, terutama perkembangan Non Perfoming Financing
jenis usaha yang bersangkutan.
-
Kinerja
kekurangan jenis usaha yang bersangkutan (industry financial standard).
-
Kondisi
internal perusahaan nasabah, seperti manajemen, organisasi, pemasaran, teknis
produksi, dan keuangan.[4]
2)
Faktor
negatif lainnya yang mempengaruhi perusahaan nasabah, seperti kondisi group
usaha, keadaan force majere, permasalahan hukum, pemogokan, kewajiban off
balance sheet (L/c import, bank garansi), market risk (force risk,
interest risk, security risk), riwayat pembayaran (tunggakan kewajiban) dan
restrukturisasi pembiayaan.
Reconvery Risk (risiko jaminan) yakni
risiko yang terjadi pada Second Way Out yang dipengaruhi oleh hal-hal
berikut.
1)
Kesempurnaan
pengikatan jaminan
2)
Nilai jual
kembali jaminan (marketabillity jaminan)
3)
Faktor
negatif lainnya, misalnya tuntutan hukum pihak lain meminta lamanya taksasi
ulang jaminan.
4)
Kreditabilitas
penjamin (jika ada).
Default Risk akan menentukan Customer Risk Rating (CRR tingkatan nasabah).
Jika kondisi Industry risk dan kondisi internal perusahaan baik, maka CRR akan tinggi
ratingnya atau rendah risikonya serta Rating dan score sebagai
berikut
Rating
|
Score
|
Tingkat Risiko
|
1= baik sekali
|
5
|
Very low risk
|
2 = baik
|
4
|
Low risk
|
3 = cukup/sedang
|
3
|
Moderate risk
|
4 = kurang
|
2
|
High risk
|
5 = buruk sekali
|
1
|
Very high risk
|
Kondisi internal perusahaan diukur dari hasil value manajemen,
pemasaran, teknis produksi, keuangan perusahaan kemudian keuangan perusahaan
(rasio keuangan perusahaan) dibadingkan dengan kinerja keuangan rata-rata
industri. Industry Rating diukur pada tingkat nasional dan ciri-ciri umum sebagai berikut.[5]
Score
|
Industry Risk Rating
|
Ciri-ciri umum
|
5
|
Very low risk
|
Prospek permintaan
sangat baik standar industry sangat kuat, kinerja keuangan dan kinerja
pinjaman diatas rata-rata industri
|
4
|
Low risk
|
Diatas rata-rata kinerja
industry
|
3
|
Moderate risk
|
Rata-rata industri
proposal pembentukan yang memadai dan mempunyai keamanan keuangan cukup untuk
membayar uang pinjaman
|
2
|
High risk
|
Di bawah rata-rata
kinerja industry
|
1
|
Very high risk
|
Industri berisiko untuk
diberikan pinjaman dengan prospek dan kemampuan keuangan meragukan
|
Recovery Risk merupakan pembayaran
kembali atas sisa pinjaman nasabah dari hasil jaminan, apabila First Way Out
tidak dapat diharapkan lagi. Dalam menilai recovery risk ini
dianalisa Ratio Pemenuhan Jaminan (RPJ), yaitu prosentase NTJ Total Jaminan dan
diberi rating sebagai berikut.[6]
D.
PERANAN RAHN DAN
KAFALAH
Kelompok akad pembiayaan berbasis utang, yakni qardhul hasan, jual
beli muajjal, jual beli salam, istisna’ dan ijarah, memiliki
karakteristik bahwa nilai yang tercantum dalam kontrak harus dilunasi oleh
debitur. Meskipun sama-sama menggunakan bentuk utang, akad qardhul hasan dapat
dibedakan dengan jenis akad utang lainnya berdasarkan boleh atau tidaknya
mengambil keuntungan pada waktu menetapkan nilai kontar. Qardhul hasan mrupakan akad yang
murni ditunjukkan untuk menolong orang lain. Berbeda dengan akad qardhul
hasan, akad utang lainnya, yakni jual beli muajjal, jual beli salam,
istisna’ dan ijarah. Muncul dari jual beli sehingga memungkinkan
menetapkan margin keuntungan sebagai bentuk imbal hasil dan dimaksudkan dalam
nilai kontrak.
Agunan (rahn) merujuk pada harta yang dijaminkan oleh debitur.
Sedangkan jaminan (khafalah), merujuk pada jaminan yang diberikan pihak
ketiga tersebut akan menanggung pelunasan utang dari debitur jika debitur gagal
bayar, karena sebab pailit atau kabur. Dalam kondisi ini, penjamin memiliki
kedudukan yang sama dengan debitur pada waktu awal pelunasan. Ketika debitur
mengalami gagal bayar, dan bank menginginkan kembalinya modal secepatnya,
likuidasi harta yang diagunankan menjadi solusi terbaik. Likuidasi agunan
diperlukan agar tidak terjadi kemudaratan. Terkaid likuidasi agunan, perlu
perlu diingat bahwa hak kepemilikan harta yang digunakan adalah tetap milik
debitur.
E.
FAKTOR PENENTU
PEMBIAYAAN
Risiko pembiayaan
atau biasa disebut dengan risiko kredit sebagai resiko timbulnya kerugian yang
terkait dengan kemungkinan bahwa caunterprty (nasabah kredit) akan gagal
memenuhi kewajiabnanya.pemberian kredit yang buruk secara konsisten sangant
mungkin terjadi, namun dapat diatasi apabila bank menerapkan kewajiban
perkreditan yang sehat. Bank konvensional dengan menyalurkan kreditnya selalu
mempertimbangkan dan meminimalisirterjadinya resiko kredit. Dalam kasus lembaga
keuangan islam dimana pinjaman (kredit) diganti dengan investasi dan
kerjasama,maka manajemen risiko kredit menjadi lebih kritis, karakter yang
berbeda dalam instrumen keuangan yang dipraktekan dalam bank islam, antara
lain:
Dalam kasus transaksi Murabahah. bank islam terbuka dengaan risiko
kredit, manakala bank islam telah memberikan produk (barang) dan saat akan
diserahkan kepada nasabah ternyata nasabah tersebut menolak, dalam hal ini bank
tertimpa risiko harga dan risiko pasar.
Dalam kontrak (akad) Istisna dan As-salam. Bank menghadapi
risiko untuk menyediakan barang secar tepat waktu, atau kegagalan untuk
menyediakan barang sesuai dengan kualitas yang diperjanjikan dalam kontrak.
Kegagalan juga dapat terjadi dalam penundaan dan kegagalan pembayaran atau
pengiriman barang.[7]
Dalam kasus investasi Mudarabah. Ketika bank islam
memasuki akad mudarabah sebagai shohibul mal (principal) denagn pihal mudarib
(agent). Bank islam menghadapi risiko ketika dan diserahkan kepada mudarib
untuk suatu proyek tertentu. Akad mudarabah tidak memaberikan hak secara penuh
untuk memonitor nasabah atau berpartisipasi dalam manajemen proyek, dimana
pembuatan penilaian dan manajemanrisiko kredit dirasakan sulit.
Manajemen risiko
kredit dalam bank islam lebih kompleks dan lebih banyak disebabkan oleh faktor
eksternal. Adalam masalah kegagalan nasabah , bank islam dilarang membebankan
bunga atau memaksakan adanya pinalty atau denda, kecuali ada kasus yang
disebabkan penundaan yang disengaja. Hal ini dapat disalahgunakan oleh nasabah.
Selama penundaan, modal bank tidak produktif dan investor (shohibul mal) tidak
mendapatkan pendapatan. Contoh lainya dimana saham bank dalam permodalan
diinvestasikan melalui mudarabah dan musyarakah yang diubah kedalam debt
obligation (hutang jangka panjang) dalam kasus ini kealpaan telah terbukti
dari pihak mudarib. Sebagai hasilnya, ketentuan pengkoveran hutang diterapkan
dimana ada perbedaan diantara aturan mudarabah dengan musyarakah.
Tehnik mitigasi
risiko yang digunakan dalam bank islam untuk resiko kredik tidak berbeda banyak
dengan konvensional. Mengukur resiko dapat digunakan dengan menggunakan
kualitas data yang pada masa lalu yang dimiliki nasabah dan menentukan
kemungkinan kegagalan. Penggunaan jaminan dan perjanjian sebagai pengan pada risiko kredit adalah
praktek yang umum baik dalam bank konvensional maupun bank islam. Bank dapat
meminta nasabah untuk menambah jaminan sebelum masuk dalam transaksi mudarabah.[8]
Contoh lain risiko
dalam pembiayaan dibank islam serta mitigasinya antara lain:
1.
Akad Pembiayaan Murabahah
Adalah pembiayaan berupa transaksi
jualbeli barang sebesar harga perolehan barang ditmabh margin keuntungan yang
disepakati para pihak (penjual dan pembeli). Besar margin keuntungan dinyatakan
dalam bentuk nominal atau dalam bentuk presentasi harga pembelianya.
Resiko yang mungkin timbul :
Tidak bersaingnya imbal bagi hasil bagi pihak shohibul
mal (pemilik dana), khusunya untuk pembiayaan yang memiliki jangka waktu cukup
panjang. Penyebabnya antara lain :
-Kenaikan DCMR (Direct Competitor’s Market Rate)
-Kenaikan ICMR (Indirect Competitor’s Market Rate)
-Kenaiakan ECRI (Expected Competitive Rate For
Investor)
Solusi meminimalir resiko:
Menetapkan jangka waktu maksimal untuk pembiayaan
murabahah dengan mempertimbangkan:
a.
Tingkat margin keuntungan yang dapat
berubah setiap waktu.
b.
Suku bunga kredit saat ini dan prediksi
perubahannya pada msa mendatang yang berlaku dipasar perbankan konvensional.
c.
Ekspektasi bag hasil kepada dana pihak
ketiga yang kompetitif (ECRI) diperbankan syariah. Semakin besar perubahan ECRI
yang diperkirakan terjadi, semakin pendek jangka waktu maksimal pembiayaan.[9]
2.
Akad Pembiayaan Mudharabah dan
Musyarakah
Akad mudharabah merupakan akad
transaksi berbasis investasi atau penanaman modal pada satu usaha kegiatan
tertentu. Bank dan nasabah menjalin kerjasama atas suatu usaha atau proyek.
Dalam kerjasama itu bank menyediakan modal dan nasabah menyediakan keahlian
untuk mengejakan proyek tersebut. Pembagian hasi usaha ditentukan berdasarkan
nisbah atau porsi bagi hasil yang telah ditetapkan sebelumnya. Contok
pembiayaan mudharabah antara lain pembiayaan modal kerja dan pembiayaan
investasi. Pembiayaan musyarakah merupakan pembiayaan dengan transaksi
penanaman modal dari bank kepada nasabah selaku pengelola untuk mengelola suatu
proyek dengan pembagian hasil usaha ditetapkan berdasakan nisbah atau porsi
bagi hasil yang telah disepakati sebelumnya.
Penilaian resiko akad mudharabah dan musyarakah meliputi:
a.
Business Risk (risiko bisnis yang
dibiayai)
b.
Shrinking Risk (risiko berkurangnya
pembiayaan mudharabahh)
c.
Character Risk (risiko karakter buruk
mudharib)
3.
Akad Pembiayaan Ijarah dan IMBT
Akad pembiayaan ijarah merupakan
transaksi pemanfaatan hak guna tanpa disertai pemindahan kepemilikan atau biasa
disebut dengan sewa menyewa. Sedangkan IMBT merupak transaksi sewa menyewa
namun pada akhir akad ada perjanjian untuk mamberi barang tersebut.
Critical point ijarah :
a.
Penyerahan barang dilakukan diawal
b.
Pembayaran dengan angsuran tetap dalam
jangka waktu tertentu
c.
Tidak ada pemindahan kepemilikan.
Critical point
pembiayaan IMBT :
Ketidakmampuan
nasabah membayar angsuran dalam jumlah besar di akhir kontrak menggunakan
metode balloon payment.
Resiko yang
mungkin timbul :
a.
Jika barang adalah milik bank, timbul
risiko asset yang tidak produktif jika tidak ada yang menyewa.
b.
Jika barang bukan milik bank maka
timbul risiko barang rusak oleh nasabah
karena pemakaian tidak normal
c.
Dalam hal tenaga kerja yang disewa bank
kemudian disewa oleh nasabah, timbul risiko karena pemberi jasa tidak baik
performanya.
Solusi untuk
meminimalisir risiko :
a.
Risiko yang timbul karena ketiadaan
nasabah merupakan risiko yang tidak dapat dihindari
b.
Untuk risiko barang rusak oleh nasabah karena pemakaian tidak normal,
bank dapat menetapkan covenant ganti rugi atas kerusakan barang yang
dikarenakan pemakaian tidak wajar
c.
Untuk risiko yang timbul karena pemberi
jasa tidak baik performanya, bank dapat menetapkan covenant bahwa risiko tersebut merupakan tanggung jawab
nasabah karena pemberi jasa dipilih sendiri oleh nasabah.
d.
Untuk IMBT dapat dilakukan dengan
memperpanjang jangka waktu sewa.[10]
F.
PROVISI RISIKO PEMBIAYAAN
Kebijakan provisi digunakan untuk mengakui adanya
potensi kerugian pembiayaan yang muncul. Provisi ini lazimnya dibentuk pada dua
kondisi, yakni pada waktu pembiayaan dikategorikan sebagai tidak lancar dan
diprediksi gagal bayar. Dasar pengelompokkan kualitas gagal bayar seharusnya
tidak hanya melihat tingkat kolektibilitas debitur saat ini, namun juga
didasarkan atas berbagai faktor yang memengaruhi kemampuan membayar. Berbagai faktor tersebut adalah faktor demografi debitur, seperti usia, tingkat pendidikan, dan
pengalaman bisnis. Faktor keberlangsungan bisnis, seperti profitabilitas,
likuiditas, solvabilitas, struktur biaya, efisiensi dan perputaran usaha.
Factor industry dan makro-ekonomi seperti tingkat persaingan usaha, struktur
pasar, ketersediaan pasokan, dan saluran distribusi, inflasi, tingkat
pengangguran, pendapatan per kapita, siklus bisnis, dan ekonomi, pendapatan
nasional, pertumbuhan penduduk, dan struktur piramida penduduk. Kestabilan politik dan
kepastian hukum. Bahkan termasuk juga pergerakan ekonomi global, seperti fluktuasi harga minyak dunia, perang antar
negara, terorisme, dan sebagainya.
Kategori kualitas pembiyayaan
|
PPAP yang diminta
|
Lancar
|
1% dari total pembiayaan berkategori lancar.
|
Dalam perhatian khusus
|
5% dari total pembiayaan berkategori dalam pengawasan khusus.
|
Kurang lancer
|
15% dari total pembiayaan berkategori kurang lancar setelah
dikurangi nilai agunan.
|
Diragukan
|
50% dari total pembiayaan berkategori diragukan setelah dikurangi
nilai agunan.
|
Macet
|
100% dari total pembiayaan berkategori macet setelah dikurangi
nilai agunan.
|
Khusus untuk pembiyayaan ijarah
|
Minimal 50% dari kewajiban pembentukan PPAP untuk kategori dalam
perhatian khusus, kurang lancar,
diragukan, dan macet.
|
Akun cadangan penyisihan piutang
tidak tertagih dan beban penghapusan piutang tidak tertagih, provisi
diistilahkan sebagai penyisihan penghapusan asset produktif. PPAP merupakan
modal yang harus dbentuk berdasarkan penggolongan kualitas pembiayaan.
Pembentukan PPAP ini adalah untuk menghindarkan bank dari potensi kegagalan
bisnis jika debitur benar-benar gagal bayar. Kondosi ini akan memaksa bank
mengambil pilihan untuk (i) meminjam kepihak ketiga, (ii) meminta fasilitas
likuiditas jangka pendek ke BI, (iii) mengoptimalkan pasar uang antar bank
syariah, (iv) meminta tambahan modal dari investor, atau (v) menjual surat
berharga yang dimiliki.
Bank seharusnya mendistribusikan
pembiayaan lancar yaitu kelompok lancar dan dalam perhatian khusus dan tidak
lancar yaitu kelompok kurang lancar, diragukan, dan macet.
G.
LIMIT PEMBIAYAAN
BERDASARKAN RISIKO
Pemeringkat
debitur adalah tersedianya alat mitigasi risiko pembiayaan yang andal, dan
sekaligus sebagai alat diversifikasi portofolio pembiayaan, sistem limit
pembiayaan dapat digunakan untuk membentuk portofolio dengan jumlah pembiayaan
yang besar dengan ekspektasi kerugian yang hamper sama. Dimana ekspektasi
kerugian dapat dihitung sebagai perkalian antara probabilis gagal bayar dan
nilai pembiayaan setelah dikurangi agunan dan jaminan. Limit pembiayaan untuk
individu debitur harus ditetapkan pada tingkat yang berbanding terbalik
terhadap probabilitas gagal bayar debitur. Selanjutnya, bank Islam dapat
melakukan improvisasi dengan mengkaitkan strategi pemberian limit lebih besar
pada debitur dengan peringkat lebih tinggi dan jauh tempo pembiayaan yang lebih rendah.
Dalam
concentration limit menejemen bank harus menetapkan ketentuan yang tegas atas jumlah maksimum pinjaman yang
dapat diberikan kepada individual borrower atau sektor tertentu. Biasanya bank
menetapkan besaran dari concentration limit dengan mengurangi exposure-nya pada
bidang industri tertentu dan menaikan jumlah exposurea-nya pada bidang industri
lainya.[11]
H.
RISIKO KONSENTRASI PORTOFOLIO
PEMBIAYAAN
Strategi diversifikasi digunakan untuk
meminimalkan risiko portofolio. Penerapan kebijakan sistem limit pembiayaan,
meliputi (i) limit nilai pembiayaan individu debitur untuk mengontrol ukuran
eksposur portofolio pembiayaan, (ii) limit jangka waktu pembiayaan dari
individu debitur, (iii) limit nilai pembiayaan terkait kategori peringkat
debitur, (iv) limit konsentrasi industri dan geografis untuk menghindari risiko
terjadinya gagal bayar sistematis.
Untuk mengola
risiko portofolio pembiayaan, dengan menciptakan portofolio terdiversifikasi,
dibutuhkan suatu ukuran tunggal yang mencerminkan nilai pembiayaan, jauh tempo,
kualitas pembiayaan dan risiko sistematis secara bersamaan. Kontribusi risiko
suatu eksposur pada portofolio pembiayaan dapat didefinisikan sebagai
pertambahan efek pemilihan tingkat persentil dari distribusi kerugian ketika
dieksposur tersebut dihilangkan dari portofolio saat ini. Kontribusi risiko ini
memiliki beberapa sifat, yaitu;
1.
Total kontribusi risiko setiap individu
debitur adalah sama dengan risiko keseluruhan portofolio.
2.
Kontribusi risiko memberikan pengaruh
perubahan pada portofolio yang diukur, seperti mengeluarkan atau menambahkan
suatu eksposur.
3.
Secara umum, portofolio pembiayaan
dapat secara efektif dikelola dengan focus pada beberapa debitur yang memiliki
proporsi risiko yang signifikan namun nilainya relative kecil pada eksposur
portofolio pembiayaan.
Dengan dihilangkannya sejumlah debitur
yang memiliki eksposur kerugian yang kecil dengan kontribusi risiko tertinggi,
akan menggeser distribusi kerugian portofolio ke kiri. Pengaruhnya afalah makin
kecilnya potensi kerugian dan jumlah modal minimum yang harus dicadangkan.
Membuat kebijakan limitasi konsentrasi
akan berkolerasi positif terhadap limitasi risiko. Dan ini sekaligus merupakan
teknik yang ampuh untuk mengendalikan risiko gendutnya ekor distribusi kerugian (fat
tail risk).
Tagiahan yang
termasuk dalam fortofolio ritel yaitu bobot tagihan yang termasuk ritel dikenakan
bobot risiko 75% ketika memenuhi kriteria berikut :
1.
Kriteria orienratasi (orientation
criterion) yaitu eksposur terhadap perseorangan atau sekelompok orang atau
perusahaan kecil yang memiliki kekayan bersih maksiamal Rp. 200 juta tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau hasil penjualan tahunan maksimal
Rp 1 miliar.
2.
Kriteria produk ( product criterion)
eksposur dalam bentuk sebagai berikut: revolving credit dan fasilitas
kredit (termasuk kartu kredit dan cerukan), kredit perorangan (personal term
loans) dan sewa guna usaha (misal cicilan kredit dan lain lain), serta
fasilitas dan komitmen bagi usaha usaha kecil. Surat berharga misalnya obligasi
dan saham.
3.
Kriteria granulariti (granularity
criterion). Otoritas pengawas harus meyakini bahwa fortofolio ritel sudah cukup
terdiversifikasi hingga dapat mengurangi risiko dalam fortofolio dan memberikan
bobot risiko 75%. Satu cara untuk mencapainya dalah dengan menetapkan batas
dimana secara agregat tidak ada eksposur bagi satu debitur yang boleh melebihi
0,2 % dari keseluruhan fortofolio ritel.
4.
Eksposur individual bernilai rendah (low
value of individual exposure) menurut basel II, jumlah maksimum tagihan
ritel secara agregat yang diperbolehkan bagi satu debitur tidak boleh melebihi
Euro 1 Juta. Eksposur individual bernilai rendah sesuai batasan usaha mikro,
kecil, dan menengah (UMKM) ditetapkan maksimal Rp 5 miliar.[12]
I.
PENGELOLAAN PORTOFOLIO PEMBIAYAAN
Bagaimana investor dan
direksi dapat memandang risiko dan mentransformasikannya kedalam visi, misi, dan
nilai yang harus dipegang sangat menentukan area risiko mana yang akan menjadi
focus pengolaan. Divisi pembiayaan seharusnya lebih dulu melihat pada sudut
pandang total portofolio. Portofolio, yakni tingkat imbal hasil, tingkat risiko
serta pola arus kas yang diharapkan, perlu didefinisikan terlebih dahulu.
Profil yang diharapkan inilah yang akan menjadi petunjuk arah dalam membentuk
portofolio. Tahapan iniakan menentukan berbagai kebijakan pembiayaan, seperti
limit per akad pembiayaan, besar dan periode cicilan untuk memenuhi profil pola
arus kas, tingkat risiko per akad yang dibolehkan, dan tentunya tingkat margin
atau imbal hasil yang bisa diharapkan dari berbagai kendala yang ada.
Pengelolaan
risiko portofolio pembiayaan merupakan fungsi turunan dari filosofi manajemen
risiko yang dibagun oleh manajemen puncak. Bagaimana investor dan direksi
memandang risiko dan mentransformasikan ke dalam visi,misi dan nilai yang
dipegang ini sangat menentukan area risiko mana yang akan menjadi focus
pengelolaan.
Portofolio
pembiayaan bank islam terdapat berbagai akad pembiayaan yang masing-masing
memiliki karekteristik dan proses bisnis yang sangat berbeda. Perbedaan ini
menyebabkan factor penentu risiko dan titik waktu dimana risiko tersebut
mungkin akan menjadi juga berbeda. Meski demikian divisi pembiayaan seharusnya
lebih dulu melihat pada sudut pandang total portofolio. [13]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Bank islam berfungsi menyalurkan dana dari pihak yang mempunyai kelebihan
kepada pihak yang membutuhkan dana. Dalam hal ini bank berperan sebagai
pengelola risiko karena bank mengambil risiko dari masyarakat, mentransformasi
dan kemudian meletakkannya pada produk dan jasa yang diberikan. Di bank islam
untuk mengelola risiko pembiayaan dapat dilihat dari karakteristik debitur dan
karakteristik akad pembiayaan. Pada dasarnya risiko pembiayaaan merupakan
kemampuan debitur untuk memenuhi kewajibannya. Dalam risiko pembiayaan rahn dan
kafalah berperan sebagai agunan untuk menghindarinya terjadinya gagal bayar.
Terdapat
beberapa faktor penentu risiko pembiayaan, diantaranya : akad Qardhul hasan,
akad jual beli muajjal, akad jual beli salam, akad jual istishna’ dan akad
ijarah. Untuk menentukan pemberian pembiayaan kepada para UKM dibutuhkan
lembaga pemeringkat independen yang bertugas menilai kelayakan usaha calon
debitur. Untuk menghindarkan bank dari potensi kegagalan bisnis jika debitur
benar-benar gagal bayar dibentuklah suatu provisi (PPAP).
Dalam memberikan limit pembiayaan bank
mempertimbangkan risiko-risiko yang akan terjadi. Untuk mengelola risiko
portofolio pembiayaan dibutuhkan suatu ukuran tunggal yang mencerminkan nilai
pembiayaan, jatuh tempo, kualitas pembiayaan dan risiko sistemis secara bersamaan.
Untuk meminimalisir risiko pembiayaan, pihak bank islam sebaiknya berkerja sama
dengan berbagai lembaga terkait seperti: penggadaian dan lembaga pemeringkat
independen.
[3] Muhammad Syafi’i Antonio, 2001, Bank
Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta : Gema Insani Press, hal. 160
[4] Adiwarman, A Karim, Bank
Islam : Analisa Fiqh dan Keuangan , (Jakarta: RajaGrafindo persada, 2014) .
hal 260
[7] Armanto wicaksono, “Manajemen
Risiko dalam Perbankan Syariah”, dalam jurnal Keuangan dan Bisnis Vol.
1 NO. 01 Tahun 2011, hlm. 5
[12] Ferry N. Idroes, manajemen
risiko perbankan, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008), hlm. 86-87.
[13]Enny
puji A., dikutip http://nuansaekonomisyariah.blogspot.co.id/2016/05/manajemen-risiko-bank-syariah.html diakses tanggal 11 september 2017 12:12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar